Senin, 13 Juli 2009

PENDIDIKAN GRATIS?

PENDIDIKAN GRATIS HANYA MIMPI

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 8 Juli 2009, bangsa Indonesia baru saja menghelat pesta akbar demokrasi. Dimana seluruh rakyat Indonesia menggunakan hak politiknya untuk memilih pemimpin tertinggi di negeri ini, yaitu memilih sang presiden dan wakilnya. Sesuai prosedur yang ditetapkan oleh KPU, beberapa tahapan pilpres telah dilewati dengan baik. Terlepas dari rasa puas atau tidak puas, pro dan kontra, serta permasalahan yang tersisa pasca pilpres, yang jelas pilpres telah selesai. Pada saat kampanye pemilu bahkan kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat jauh-jauh hari sebelumnya, banyak program yang telah ditawarkan kepada rakyat Indonesia untuk mendapat simpati masyarakat dengan harapan akan meraup perolehan suara sebanyak-banyaknya. Salah satunya adalah program pendidikan gratis. seluruh kandidat menyuarakan program pendidikan murah dan gratis.
PENDIDIKAN GRATIS memang layak dijadikan ICON kampanye calon presiden. Karena pendidikan memang menjadi hajat orang banyak. Para orang tua, siswa, dan pemerhati pendidikan banyak berharap program ini akan terealisasi. Tapi........ PENDIDIKAN GRATIS DAN MURAH, mungkinkah............................?
Mengingat hampir dipastikan kompetisi presiden dimenangkan oleh pasangan SBY-Boediono, dengan slogan LANJUTKAN.............! mari kita menengok kebelakang kebijakan di bidang pendidikan yang telah gulirkan. Pada level pendidikan dasar, program wajib belajar 9 tahun nyaris sirna, karena senyatanya tidak ada pendidikan bagi rakyat sekolah yang benar-benar gratis, di mana para orang tua tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk menyekolahkan anaknya. Ternyata para orang tua harus mengeluarkan biaya pakaian seragam sekolah, buku tulis, buku cetak, buku LKS, uang les meskipun tidak wajib. Pemerintah hanya menggulirkan program BOS. Program BOS ini tidak banyak menolong meringankan beban orang tua, karena pengawasannya yang kurang optimal, sehingga penggunaan BOS tidak tepat sasaran.
Tiga tahun terakhir, baik SDN maupun SMPN beramai-ramai, berusaha sekuat tenaga, meskipun terkadang harus memanipulasi data menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) bahkan beberapa SMPN telah berubah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan pada tahun pelajaran 2009/2010 ini SMPN-BI tidak lagi menerima kelas reguler atau paling tidak mengurangi. Apa substansi SBI? meningkatkan kualitas pendidikan? bagaimana mungkin dapat meningkatkan kualitas pendidikan, karena gurunya yang itu-itu saja. Hal lain yang terjadi adalah sebelum diterima sebagai siswa SBI ada tes wawancara terhadap orang tua calon siswa, yang intinya menanyakan penghasilan Bapak/Ibu sebulan berapa? Bapak/Ibu sanggup memberikan kontribusi berapa setiap bulan? Apakah Bapak/Ibu sanggup menyediakan sarana penunjang pendidikan seperti laptop atau komputer bagi anaknya? dan sebagainya. Berdasarkan hasil tes wawancara ini didapat kesanggupan orang tua yang bervariasi. Sehingga para orang tua harus mengeluarkan biaya 1 sampai 2 juta perbulan. Inikah pendidikan gratis? bagaimana dengan orang miskin meskipun anaknya cerdas bisa sekolah di SBI? Kalau seandaninya kelak semua sekolah negeri menjadi SBI dan tidak membuka kelas reguler, kemanakah orang miskin akan menyekolahkan anaknya?
Selanjutnya, pemerintah bersama DPR-RI telah bersepakat mengeluarkan UU No 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pada bab IV pasal 41,
poin 4 disebutkan: " pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 biaya opearsional pada BHPP dan BHPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan."
Poin 7 menyebutkan: "Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya"
Ketika membaca pasal 41 BHP di atas, apa yang dapat kita bayangkan? Bila pemerintah Pusat dan Daerah hanya menanggung 1/3 saja biaya operasional pendidikan, lalu yang 2/3 nya siapa yang menanggung? Mana tanggungjawab pemerintah terhadap anak bangsa yang mendambakan pendidikan yang setinggi-tingginya? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945?